Menyoal “Energi Hijau”: Di Mana Suara Masyarakat Sipil Soal Perluasan Etanol?
Artikel ini merangkum posisi, kekhawatiran, dan tuntutan masyarakat sipil terhadap rencana perluasan etanol, berdasarkan data dan peristiwa terbaru (2024–2025).
📌 Gambaran Umum: Rencana Etanol & E10 di Indonesia
-
Pemerintah telah mempertimbangkan kebijakan pencampuran etanol 10% ke dalam bensin (E10). Wacana ini ramai dibahas terutama sejak Oktober 2025.
-
Produksi bioetanol di dalam negeri memiliki potensi: laporan industri menyebut bahwa surplus molase (produk sampingan dari industri gula) dapat diolah menjadi etanol.
-
Di satu sisi, ada argumen bahwa etanol sebagai biofuel bisa mendukung pengurangan emisi dan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Namun di sisi lain, penerapan secara massal memunculkan banyak tantangan: dari kesiapan produksi dan distribusi, dampak pada mesin kendaraan, hingga dampak ekologis dan sosial — terutama terkait pembukaan lahan baru.
🛑 Kekhawatiran dan Kritik dari Masyarakat Sipil & NGO
Konflik Agraria, Hak Masyarakat Adat, dan Deforestasi
Salah satu titik kritis adalah proyek perluasan bioetanol skala besar — terutama di wilayah wilayah adat. Sebagai contoh, proyek di PSN Merauke (Program Strategis Nasional untuk gula dan bioetanol) telah menjadi sorotan.
-
Banyak komunitas adat di Merauke (seperti Suku Malind, Maklew, Khimaima, Yei dan lainnya) melaporkan bahwa kebun tebu/bioetanol yang direncanakan berada di atas tanah ulayat mereka.
-
Berdasarkan investigasi Komnas HAM, proyek itu berpotensi melanggar hak-hak dasar masyarakat adat: mulai hak atas tanah, hak atas lingkungan hidup, hak atas ketahanan pangan, hingga hak partisipasi dalam pengambilan keputusan.
-
Banyak warga mengaku tidak pernah dimintai persetujuan (free, prior and informed consent / FPIC) sebelum proyek berjalan, meskipun pengukuran dan klaim wilayah perusahaan sudah dilakukan.
-
Dampaknya nyata: masyarakat kehilangan akses terhadap hutan, sumber pangan tradisional, mata pencaharian, dan ruang hidup mereka — semua atas nama “transisi energi”.
Karena itu, banyak NGO dan kelompok masyarakat sipil mendesak agar proyek seperti PSN Merauke dihentikan — atau setidaknya dikaji ulang secara serius — sebelum menimbulkan bencana sosial dan ekologis lebih lanjut.
Keraguan atas Ketersediaan Produksi & Risiko Ketergantungan Impor
Tidak sedikit aktor sipil yang memperingatkan bahwa kapasitas produksi bioetanol dalam negeri belum cukup untuk mendukung E10 secara nasional.
-
Estimasi kebutuhan bioetanol untuk E10 nasional mencapai angka besar — sementara kapasitas yang ada belum sepenuhnya mencukupi, sehingga dikhawatirkan pemerintah akan kembali mengimpor etanol.
-
Jika impor menjadi jalan pintas, maka kemandirian energi yang dijanjikan menjadi semu.
-
Risiko ini memunculkan anggapan bahwa kebijakan E10 bisa menjadi “krisis hijau” baru — alias solusi berbasis lingkungan yang di atas kertas tampak hijau, tetapi dalam praktik membebani masyarakat dan alam.
Kritik terhadap Logika “Energi Bersih” Tanpa Memperhatikan Eksternalitas
Beberapa organisasi lingkungan menilai bahwa logika transisi energi melalui bioetanol rentan menyembunyikan biaya eksternal — seperti rusaknya hutan, konflik agraria dan kerusakan lingkungan — yang sering tidak diperhitungkan dalam kalkulasi pemerintah.
-
Menurut NGO WALHI, klaim bahwa bioetanol akan mengurangi impor BBM dan emisi tidak realistis jika produktivitas bahan baku dalam negeri rendah.
-
Jika lahan baru dibuka dengan memotong hutan primer atau wilayah adat, maka dampak ekologis bisa sangat besar: hilangnya biodiversitas, peningkatan risiko kebakaran, erosi, dan gangguan ekosistem.
-
Dengan demikian, banyak NGO menilai bahwa “biofuel berbasis ekspansi lahan” bukanlah solusi iklim yang adil dan berkelanjutan. Sebaliknya, solusi harus berpijak pada pemanfaatan lahan terdegradasi, limbah, atau pendekatan komunitas — bukan membuka hutan baru.
Ancaman pada Konsumen & Teknologi: Mesin, Infrastruktur, dan Kesiapan Teknis
Kelompok masyarakat sipil dan sebagian politisi (perwakilan rakyat) pun memperingatkan bahwa penerapan E10 harus melihat aspek teknis dan konsumen terlebih dahulu.
-
Ada kekhawatiran bahwa banyak kendaraan di Indonesia, terutama kendaraan lama, belum kompatibel dengan campuran etanol. Penggunaan E10 bisa menyebabkan performa menurun atau kerusakan mesin.
-
Karena itu, saran dari BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) adalah untuk melakukan uji coba dahulu — tidak langsung mandatori — agar dampak riil terhadap konsumen bisa diketahui.
-
Tanpa infrastruktur penyimpanan dan distribusi yang memadai (tangki, pipa, SPBU yang kompatibel terhadap etanol) serta edukasi publik, kebijakan bisa memunculkan beban baru — baik bagi konsumen maupun industri.
✅ Suara Pro-Etanol: Potensi Ekonomi, Energi Mandiri, dan Peluang bagi Petani
Meski banyak kritik, tidak semua suara dari masyarakat sipil menolak etanol. Ada juga pihak yang melihat potensi positif — asalkan implementasinya adil, transparan, dan berkelanjutan.
-
Seorang ekonom dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) menyatakan bahwa pengembangan industri etanol bisa membuka lapangan kerja, memberdayakan petani, dan memberikan nilai tambah pada bahan baku seperti tebu, singkong, jagung, yang sebelumnya kurang bernilai ekonomi.
-
Pandangan semacam ini menekankan bahwa bioetanol dapat memberikan multiplier effect di sektor pertanian dan UMKM — terutama di daerah pedesaan — jika modelnya inklusif dan berbasis lokal.
-
Oleh karena itu, sebagian masyarakat sipil mendukung etanol — dengan catatan bahwa transisi energi harus dilakukan dengan integritas, tanpa mengorbankan hak masyarakat adat atau lingkungan.
🎯 Rangka Aspirasi Masyarakat Sipil: Apa yang Dituntut?
Berdasarkan analisis di atas, berikut rangkuman tuntutan dan aspirasi dari masyarakat sipil / NGO terkait rencana perluasan etanol:
-
Pengakuan & Perlindungan Hak Masyarakat Adat
-
Konsultasi terbuka (FPIC) sebelum izin proyek diberikan.
-
Kompensasi yang adil jika terjadi pelepasan tanah adat.
-
Jangan lakukan pembukaan hutan primer — gunakan lahan terdegradasi atau alternatif lain.
-
-
Kemandirian Produksi dan Hindari Ketergantungan Impor
-
Pastikan kapasitas produksi bioetanol dalam negeri memadai sebelum kebijakan E10 diberlakukan.
-
Transparansi perhitungan kebutuhan bahan baku, suplai, distribusi dan dampak sosial-ekonomi.
-
-
Uji Coba Bertahap & Kajian Mendalam
-
Lakukan pilot project / zona uji coba dulu; jangan langsung mandatori secara nasional.
-
Evaluasi dampak teknis (mesin kendaraan), lingkungan, dan sosial sebelum skala besar.
-
-
Transisi Energi Berkeadilan — Bukan Sekadar Bisnis
-
Prioritaskan kesejahteraan masyarakat, bukan semata keuntungan korporasi.
-
Libatkan masyarakat lokal, pekerja mikro/kecil, dan pelaku usaha lokal dalam rantai bioetanol — agar manfaat ekonomi lebih merata.
-
Lindungi lingkungan, hutan, dan keanekaragaman hayati — jangan korbankan alam demi target produksi.
-
🔎 Kenapa Masyarakat Sipil Bersikap Hati-Hati (atau Menolak)?
Dari banyak diskusi dan laporan NGO, muncul pola skeptisisme dan penolakan terhadap etanol sebagai solusi “hijau”. Beberapa alasan mendasar:
-
Pengalaman buruk terkait proyek besar di wilayah adat: perampasan tanah, penggusuran, pelanggaran HAM dan lingkungan.
-
Potensi ketergantungan baru: jika bahan baku tidak cukup, impor bioetanol bisa menggantikan ketergantungan pada minyak fosil — justru melemahkan kemandirian energi.
-
Risiko ekologis serius: deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan ekosistem, terutama jika lahan hutan diubah menjadi perkebunan.
-
Ketidakpastian teknis: tidak semua kendaraan kompatibel, infrastruktur belum siap, serta implikasi pada konsumen bisa merugikan.
Dalam konteks ini, masyarakat sipil menegaskan bahwa transisi energi harus adil, inklusif, dan berkelanjutan — bukan sekadar target produksi.
✅ Kesimpulan: Etanol Bisa Jadi Bagian dari Solusi — Asalkan Dikelola dengan Hati-Hati
Rencana memperluas penggunaan etanol melalui E10 dan pengembangan industri bioetanol memang memiliki potensi: mulai dari kontribusi terhadap energi terbarukan, kesempatan kerja bagi petani, hingga kemandirian energi. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan semacam ini jauh dari sederhana. Jika dijalankan tanpa memperhatikan hak masyarakat adat, keberlanjutan lingkungan, dan transparansi — maka bioetanol justru bisa berubah menjadi “problem besar” baru: konflik agraria, deforestasi, ketidakadilan sosial, dan ketergantungan impor.
Masyarakat sipil dan NGO telah mengajukan tuntutan penting: agar setiap proyek bioetanol disertai proses partisipatif, evaluasi lingkungan, kejelasan hak atas tanah, serta keterlibatan masyarakat setempat dalam rantai produksi. Transisi energi ideal bukan hanya soal mengganti bahan bakar — tetapi juga soal keadilan, keberlanjutan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta lingkungan hidup.
✍️ Rekomendasi untuk Pemerintah & Pembuat Kebijakan
-
Jangan buru-buru menerapkan E10 secara nasional — lakukan pilot project dan evaluasi dampak secara menyeluruh.
-
Sediakan data transparan: kapasitas produksi bioetanol, kebutuhan bahan baku, dampak lingkungan, serta proyeksi penggunaan.
-
Pastikan partisipasi aktif masyarakat — terutama masyarakat adat — dalam perencanaan dan pengambilan keputusan (FPIC).
-
Gunakan lahan terdegradasi atau limbah (molase, sisa tanaman) dulu sebelum membuka lahan baru.
-
Libatkan petani kecil, UMKM, dan komunitas lokal agar manfaat ekonomi merata.
-
Perkuat regulasi lingkungan, hak atas tanah, dan jaminan sosial agar transisi energi benar-benar berkeadilan.


Posting Komentar untuk "Menyoal “Energi Hijau”: Di Mana Suara Masyarakat Sipil Soal Perluasan Etanol?"
Posting Komentar