Apakah Indonesia Masih Mengimpor Etanol? Situasi Terkini di 2025
📌 Latar Belakang: Etanol, BBM Campuran, dan Upaya Energi Bersih
Pemerintah melalui berbagai regulasi dan rencana kebijakan berambisi untuk meningkatkan penggunaan bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM). Program “E10” — yaitu bensin dicampur 10% etanol — digadang-gadangkan sebagai strategi untuk:
-
Mengurangi ketergantungan impor bensin/fuel fosil.
-
Mendukung petani: dengan “menyerap” bahan baku lokal seperti tebu dan singkong, memberi nilai tambah pada komoditas pertanian.
-
Menopang transisi ke energi lebih ramah lingkungan dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Namun untuk mewujudkan E10 — dan potensi campuran etanol pada BBM — diperlukan pasokan etanol yang cukup. Dan di sinilah muncul problem: produksi domestik selama ini dianggap belum memadai untuk memenuhi kebutuhan bioetanol secara nasional.
Produksi Domestik vs. Kebutuhan: Mengapa Impor Masih Dilakukan
🎯 Kapasitas & Realisasi Produksi
-
Menurut data terbaru (2024), kapasitas terpasang produksi bioetanol di Indonesia mencapai sekitar 303.325 kiloliter per tahun.
-
Namun realisasi produksinya jauh di bawah potensi: pada 2024, yang berhasil diproduksi hanya sekitar 160.946 kiloliter.
-
Dengan produksi sebesar itu, otomatis ada kekurangan jika kebutuhan meningkat — baik untuk campuran E10, maupun kebutuhan industri/pabrikan.
⚠️ Implikasi Kekurangan dan Yaitu Impor
Karena produksi domestik belum mencukupi, sejumlah pelaku industri dan perusahaan energi masih bergantung pada impor etanol. Misalnya perusahaan milik negara Pertamina sempat menyatakan akan mengimpor etanol agar bisa menyediakan bahan bakar campuran biofuel.
Kebutuhan impor dianggap sementara menjadi “penyangga” agar pasokan tidak macet, sambil menunggu produksi lokal meningkat — melalui pembangunan pabrik baru, atau perluasan lahan produksi tebu/singkong/molase.
Kebijakan Terbaru: Pemerintah Berupaya Mengurangi Ketergantungan Impor
Sejak 2025, pemerintah mengambil sejumlah langkah untuk mengurangi ketergantungan impor etanol, sekaligus melindungi industri dan petani dalam negeri:
-
Pada September 2025, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan bahwa pemerintah akan memperketat impor etanol. Rencana tersebut disampaikan sebagai upaya mendukung petani yang terpukul karena harga molase (bahan baku etanol) anjlok.
-
Kementerian Perdagangan mengubah regulasi melalui dua aturan baru: salah satunya — regulasi yang mengatur impor etanol — kembali dikontrol secara ketat. Artinya: impor tidak bisa terus-menerus “terbuka lebar.”
-
Pemerintah mengidentifikasi sekitar 920.000 hektar lahan di 18 provinsi untuk pengembangan tanaman tebu dan singkong sebagai bahan baku etanol, bagian dari strategi jangka menengah.
Menurut pernyataan resmi, impor etanol akan hanya dilakukan jika pasokan lokal dianggap kurang memenuhi kebutuhan.
Kontroversi dan Tantangan Industri & Petani
Meskipun kebijakan “batasi impor” diterapkan, kenyataan di lapangan memunculkan sejumlah tantangan dan potensi masalah:
-
Industri gula dan produsen etanol domestik keberatan terhadap kebijakan liberalisasi impor sebelumnya (misalnya regulasi yang menghapus persetujuan impor, memungkinkan etanol impor masuk tanpa kontrol ketat). Dampaknya: banyak pabrik industri menahan membeli tetes tebu (molase) dari petani, karena khawatir kalah bersaing dengan etanol impor murah.
-
Akibatnya, harga molase jatuh dramatis — dari Rp 2.500–3.000/kg turun ke Rp 1.000/kg — yang tentu merugikan petani dan pabrik gula lokal.
-
Organisasi seperti Bapanas (Badan Pangan Nasional) menyuarakan kekhawatiran bahwa impor etanol bisa membuat “by-product” industri gula, seperti molase, tidak terserap — sehingga mengganggu kelangsungan produksi gula dan bioetanol domestik.
Dengan demikian, kontrol impor bukan hanya soal memperkuat industri lokal — tapi juga menyelamatkan mata pencaharian petani dan pelaku sektor gula.
Implikasi bagi Masa Depan: Apakah Indonesia Bisa Mandiri Etanol?
Dengan upaya ini, apakah Indonesia bisa benar-benar mandiri pasokan etanol dalam waktu dekat? Ada sejumlah catatan penting:
-
Target pemasangan E10 — bensin campuran 10% etanol — menjadi salah satu pendorong utama. Pemerintah menargetkan bahwa E10 bisa mulai diberlakukan pada 2027.
-
Namun, banyak pihak menilai bahwa produksi domestik masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan E10 nasional.
-
Jika pasokan lokal tidak ditingkatkan secara signifikan — melalui penambahan pabrik, percepatan pembangunan bahan baku (tebu, singkong, molase), serta dukungan bagi petani — maka ketergantungan impor bisa tetap ada, terutama di masa transisi ke E10 secara penuh.
Dengan kata lain: “mandiri etanol” bukan mimpi pendek — memerlukan waktu, investasi, dan konsistensi kebijakan. Saat ini, impor tetap menjadi bagian dari strategi (meskipun dibatasi), sambil memperkuat fondasi domestik.
Ringkasan: Apakah Indonesia Masih Mengimpor Etanol?
-
Ya — sampai saat ini, Indonesia masih mengimpor etanol. Hal ini disebabkan produksi dalam negeri yang belum dapat memenuhi kebutuhan campuran bahan bakar (biofuel), maupun kebutuhan industri.
-
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru (2025) untuk mengetatkan impor etanol, dengan semangat mendukung petani dan industri dalam negeri.
-
Namun tantangan besar tetap ada: produksi domestik belum optimal, harga molase turun, dan banyak pabrik gula/petani tertekan akibat ketidakpastian.
-
Jika kebijakan dan dukungan pada sektor bahan baku serta produksi bioetanol dilanjutkan — misalnya pembangunan pabrik, penggunaan lahan yang sudah dipetakan, hingga regulasi yang stabil — potensi Indonesia untuk menjadi lebih mandiri etanol sangat besar. Tapi transisinya butuh waktu.


Posting Komentar untuk "Apakah Indonesia Masih Mengimpor Etanol? Situasi Terkini di 2025"
Posting Komentar