Siapa Yang Akan Memproduksi Etanol di Indonesia & Dari Mana Asal ‘Bahan Mentah’ (feedstock)-nya?

Memproduksi Etanol di Indonesia

Indonesia tengah berada di persimpangan penting menuju transisi energi. Pemerintah menegaskan komitmen terhadap pengurangan ketergantungan pada minyak fosil dan impor bahan bakar, sekaligus mengurangi emisi karbon. Salah satu strategi kuncinya: memperkenalkan campuran bioetanol dalam bensin.

Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan rencana mewajibkan campuran 10% bioetanol (E10) dalam seluruh bensin domestik mulai tahun 2027. Untuk memenuhi target itu, dibutuhkan sekitar 1,4 juta kiloliter bioetanol per tahunNamun tantangannya besar: kapasitas produksi dan pasokan bahan baku (feedstock) saat ini belum memadai. 

Dengan demikian, pertanyaan: siapa saja yang akan memproduksi etanol di Indonesia — dan dari bahan apa?


Produsen Etanol di Indonesia: Siapa saja pemainnya?

Saat ini, beberapa perusahaan besar dan korporasi agribisnis sudah menyatakan diri siap mengambil peran dalam produksi bioetanol. Berikut profil mereka.

PT Pertamina dan Pertamina NRE (anak usaha & energi terbarukan)

  • Pertamina, perusahaan BUMN energi terbesar di Indonesia, sejak 2023 menyatakan akan memulai produksi bioetanol berbasis tebu dan singkong (sugarcane & cassava). 

  • Melalui unit renewable-nya, Pertamina NRE, perusahaan ini berencana membangun pabrik bioetanol bersama PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) untuk menggarap molases/tetes tebu sebagai bahan baku. 

  • Salah satu proyek mereka: pabrik di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur — diharapkan memiliki kapasitas produksi sekitar 30.000 kiloliter per tahun.

  • Roadmap mereka jangka panjang hingga 2035 menunjukkan target ambisius untuk mendukung transisi energi.

Dengan keterlibatan Pertamina, harapannya bioetanol bisa diproduksi dan didistribusikan secara besar-besaran sebagai bagian dari bauran bahan bakar nasional.

PTPN III (melalui SGN / Sub-holding gula) dan PT Energi Agro Nusantara (Enero, anak PTPN X)

  • SGN — bagian dari PTPN III — memperkirakan bisa memproduksi sekitar 34.500 kiloliter per tahun bioetanol, sejalan dengan target produksi gula nasional.

  • Secara lebih ambisius, PTPN (PTPN group) sedang mengkaji pembangunan empat pabrik bioetanol baru, dengan proyeksi total output mencapai ~150.000 kiloliter per tahun (500 KL per hari).

  • Untuk pabrik yang sudah beroperasi: Enero (anak usaha PTPN X) disebut menghasilkan sekitar 30.000 kiloliter per tahun.

  • Rencana ini menunjukkan bahwa korporasi gula besar di Indonesia — bukan hanya sektor energi — ikut mengerjakan produksi bioetanol, memanfaatkan struktur industri gula dan limbah produksi gula (molases / tetes tebu).

Potensi Masuk: Toyota (otomotif, investor baru)

  • Menariknya: pada Oktober 2025, disebutkan bahwa Toyota berencana membangun pabrik etanol di Indonesia.

  • Motivasi Toyota: dengan target E10 dan potensi kendaraan fleksibel bahan bakar (bioetanol / etanol), perusahaan otomotif butuh memastikan pasokan etanol dalam negeri.

  • Jika terealisasi, ini bisa memperbesar basis produsen — bukan hanya perusahaan tradisional gula/energi — tapi juga pelaku otomotif/industri sebagai bagian dari rantai hilir.

Gambaran keseluruhan: Siapa saja & berapa banyak?

Menurut data dari asosiasi produsen etanol nasional, saat ini terdapat sekitar 13 pabrik etanol terpasang di Indonesia. Namun hanya 4–5 pabrik yang aktif dalam menghasilkan bioetanol untuk bahan bakar (fuel-grade ethanol).
Kapasitas total terpasang dilaporkan bisa mencapai ratusan ribu kiloliter per tahun, tapi realisasi produksi jauh di bawah potensi, karena feedstock dan investasi pabrik baru yang belum memadai.
Dengan bertambahnya pabrik dari Pertamina, PTPN/SGN, dan potensi baru dari sektor swasta (misalnya Toyota), harapannya Indonesia bisa memenuhi target E10 2027 — asalkan feedstock dan regulasi berjalan baik.


Feedstock untuk Etanol: Bahan Apa yang Dipakai?
Memproduksi Etanol di Indonesia

Kunci utama keberhasilan bioetanol adalah ketersediaan feedstock: tanaman atau hasil pertanian yang bisa diubah jadi etanol. Di Indonesia, turunan tanaman dengan kandungan gula atau pati tinggi menjadi fokus.

Jenis Feedstock dominan

Menurut studi bio-etanol, feedstock generasi pertama biasanya berasal dari tanaman gula (sugar crops) dan tanaman pati/amilum (starch crops). Contoh:

  • Sugar crops: tebu (sugarcane), molases/tetes tebu (by-product pabrik gula), gula dari sisa produksi, sweet sorghum. 

  • Starch crops: singkong (cassava), jagung (corn), sagu — terutama di wilayah Indonesia timur dan bagian luar Jawa.

Secara spesifik untuk Indonesia:

  • Feedstock yang tengah difokuskan meliputi tebu (molases/tetes tebu), singkong (cassava), dan sagu sebagai salah satu bahan baku termurah untuk bioetanol.

  • Banyak pabrik dan perusahaan gula di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan provinsi lain memiliki potensi besar — baik dari tebu maupun limbah pabrik gula — untuk memasok molases. 

  • Selain itu, surplus molases nasional saat ini besar: menurut perhitungan asosiasi produsen etanol, dengan sekitar 1 juta ton molases tak terpakai, potensi konversinya bisa menghasilkan hingga 250.000 kiloliter etanol per tahun — jika diolah seluruhnya.

Upaya Perluasan Lahan & Diversifikasi Bahan Baku

Melihat kebutuhan E10 yang masif, pemerintah dan pelaku industri tidak hanya mengandalkan tebu. Pemerintah telah membuka rencana alokasi lahan seluas 1 juta hektar di berbagai provinsi untuk menanam tanaman feedstock bioetanol seperti tebu, singkong, dan jagung. 

Alasan diversifikasi: agar tidak terlalu tergantung pada tebu saja, dan memanfaatkan potensi daerah-daerah di luar Jawa (misalnya sagu, singkong, jagung) — sehingga distribusi lahan dan produksi bisa merata. 

Menurut Kementerian Perindustrian (akhir 2025), sagu disebut sebagai salah satu bahan baku paling murah untuk etanol — menjadikannya kandidat menarik untuk skala besar. 


Tantangan & Kesenjangan: Dari Kapasitas ke Kenyataan

Meskipun potensi feedstock dan rencana pembangunan pabrik banyak, realita di lapangan belum sepenuhnya sejalan:

  • Dari 13 pabrik etanol terpasang di Indonesia, hanya 4–5 yang aktif memproduksi fuel-grade ethanol — sisanya belum memenuhi standar untuk bahan bakar. 

  • Produksi total pada 2023–2024 menurut literatur rendah — misalnya satu sumber menyebut bioetanol fuel-grade baru mencapai sekitar 40.000 kiloliter per tahun

  • Ketersediaan feedstock — baik dari tebu, molases, singkong, sagu, maupun jagung — masih belum optimal. Produksi gula nasional, produktivitas tanaman, produksi limbah pabrik gula, hingga distribusi lahan menjadi faktor kritis. 

  • Selain itu, dibutuhkan tambahan 7–8 pabrik baru untuk memenuhi target E10, dengan kapasitas signifikan — diperkirakan sekitar 120 kiloliter per hari per pabrik.

Dengan kondisi itu, target E10 tahun 2027 terlihat optimis — tetapi memerlukan langkah cepat dan koordinasi intensif antara pemerintah, perusahaan gula, perusahaan energi, dan mungkin investor swasta.


Tren & Peluang ke Depan

Melihat perkembangan terkini, beberapa tren dan peluang muncul:

🔹 Perluasan Kerja Sama Korporasi & Hilirisasi Industri

Kolaborasi seperti antara Pertamina NRE dengan SGN (subholding gula PTPN III) menunjukkan model sinergi antara sektor energi dan agribisnis — ideal untuk memanfaatkan molases dan limbah gula sebagai feedstock etanol.
Jika proyek dan investasi ini terus berjalan, kapasitas bioetanol nasional bisa meningkat signifikan dalam beberapa tahun ke depan.

🔹 Diversifikasi Feedstock — Tidak Hanya Tebu

Dengan pernyataan bahwa sagu adalah bahan baku termurah, dan dengan rencana alokasi 1 juta hektar lahan, kesempatan untuk pengembangan bioetanol dari sagu, singkong, jagung, atau tanaman lokal lain cukup besar. 
Ini berarti bioetanol bisa menjadi peluang ekonomi baru — tidak hanya bagi pabrik gula di Jawa, tapi juga bagi petani di daerah luar Jawa, misalnya di Sumatra, Sulawesi, NTT, dan seterusnya.

🔹 Masuknya Investor Swasta (dan Multinasional)

Rencana investasi dari perusahaan non-tradisional seperti Toyota menunjukkan bahwa sektor otomotif & swasta global melihat potensi besar bioetanol di Indonesia. Jika terealisasi, ini bisa mempercepat hilirisasi biofuel, sekaligus menciptakan ekosistem produksi dan distribusi yang lebih matang. 

🔹 Tantangan Regulasi & Infrastruktur — Tapi Momentum “E10 2027” Bisa Jadi Pemicu

Pemerintah telah menetapkan target E10 2027 — ini bisa menjadi momentum bagi semua pemangku kepentingan untuk mempercepat pembangunan pabrik, menata feedstock, dan membangun rantai pasok bioetanol nasional. 
Namun, tanpa regulasi insentif, tata niaga molases/limbah pabrik gula, dan dukungan terhadap petani serta perusahaan kecil, target tersebut bisa sulit tercapai.


Kesimpulan: Siapa — dan dari Mana — Etanol Itu Akan Datang?

Singkatnya: produksi etanol di Indonesia masa depan tidak hanya tergantung pada satu jenis pelaku atau bahan baku. Kombinasi beberapa faktor bakal menentukan hasil:

  • Perusahaan besar energi seperti Pertamina (melalui Pertamina NRE) sudah bergerak dan membangun pabrik bioetanol baru.

  • Industri gula dan perkebunan (PTPN III/SGN, PTPN X/Enero, dan pabrik-pabrik gula lainnya) memiliki potensi besar — terutama dari molases / tetes tebu yang selama ini kurang dimanfaatkan.

  • Pemerintah mendorong diversifikasi feedstock — tebu, molases, singkong, sagu, jagung — dengan target lahan hingga 1 juta hektar, sehingga distribusi produksi bisa lebih luas dan merata.

  • Bahkan investor swasta dan perusahaan otomotif (misalnya Toyota) menunjukkan minat masuk ke sektor etanol, membuka kemungkinan skema investasi baru.

Kalau semua elemen ini dijalankan dengan serius — pabrik dibangun, feedstock tersedia, regulasi mendukung, distribusi terpadu — maka potensi bioetanol untuk bahan bakar nasional bakal besar. Indonesia bisa memenuhi target E10 2027, bahkan membangun industri biofuel yang lebih mandiri dan berkelanjutan.

Namun, tantangannya nyata: dari feedstock, produktivitas, regulasi, hingga investasi. Sebuah mobilisasi besar dibutuhkan — dari pemerintah, korporasi, sampai petani — agar mimpi “bensin etanol Indonesia” tidak sekadar wacana, tapi benar-benar nyata.


Posting Komentar untuk "Siapa Yang Akan Memproduksi Etanol di Indonesia & Dari Mana Asal ‘Bahan Mentah’ (feedstock)-nya?"